Angin
Pujaan Hujan
Karya
: Nurhayati XII IPS 3
Aku lahir di dunia ini satu paket
bersama impian. Tidak bisa aku hitung impian itu, bagaikan titik-titik air yang
jatuh takala hujan menghampiri bumi. Hidupku itu bagaikan mendaki gunung paling
tinggi di pulau Jawa, perlengkapan mendaki hidupku seperti jaket, sepatu apapun
itu aku sebut do’a dan tekad. Sedangkan untuk bekalnya, aku hanya butuh
semangat dan motivasi, tinggal bagaimana aku menuju puncak melewati jalan yang
mempunyai berbagai macam kesulitan dan
memaksaku untuk harus tahu berbagai cara mengatasi dan melawatinya, hingga aku
berhasil berdiri tegap dengan kakiku sendiri dipuncak impian yang aku inginkan.
Menurut beberapa pendapat oranglain, aku bukan sekedar wanita berkacamata
penggemar es kelapa pencinta fotografi dan pengkonsumsi novel akut. Aku adalah
wanita tangguh wanita super ambisius yang akan tetap mengejar apapun
keinginannya sampai mendapatkannya. Tentu semua itu tidak begitu saja ada dalam
diriku, perlu waktu dan proses.
read more
read more
Dering alarm yang aku setting tepat
berbunyi ketika waktu menunjukan pukul 5 pagi, dengan mata yang masih terpejam,
tanganku terus sibuk mencari-cari smartphone berwarna ungu untuk menghentikan
bunyi yang memang harus membangunkanku, setelah tanganku mendapatkan apa yang
aku cari segeralah dengan sudah terbiasa jempolku menekan tombol silent, dan
aku berniat untuk tidur hanya 15 menit lagi sekedar memanjakan mata ini.
Rasanya baru saja aku kembali menengelamkan mata ini tetapi tiba-tiba aku
terbangun karena sinar terang yang masuk kedalam kamarku melalui jendela. Oh
tuhan ini jam 6 pagi dan aku harus sampai ke sekolah dengan selamat hanya dalam
30 menit lagi! Aku bergegas menuju kamar mandi, entah apakah yang aku lakukan
untuk membersihkan tubuhku ini benar atau tidak, bersih atau tidak “ahhhh yang
penting aku mandi” gumamku dalam hati. Setelah mandi yang singkat aku segera
memakai seragam putih biru yang memang akan aku pakai selama 3 bulan lagi, aku
ambil tas berwarna hijau toska berisi buku-buku sekolah membosankan, kulihat
sekilas kedalam cermin apakah aku sudah rapih, tidak akan aku tinggalkan
kacamata kesayanganku yang aku beli satu tahun lalu bersama ayah di optik saat
berbelanja ke mall. Aku menuruni tangga rumah dengan setengah berlari
“ibu
kenapa tidak membangunkanku!!” teriakku marah kepada sosok yang sedang ada di
dapur untuk menyiapkan sarapan.
“sudah
besar, harus mandiri masa bangun saja harus di bangunkan…” ucap Ayah santai
bersama Koran yang dibacanya.
“aku
kan jadi kesiangannnnn ih ayah!!” balasku sambil memakai sepatu merk terkenal
yang dibelikan ayah minggu lalu.
“sudahlah
aku pergi sekolah dulu.. Assalamualaikum” ucapku sambil menciumi kedua tangan
orangtuaku.
“Waalaikumsalam
sarapan dulu Nadia!” teriak ayah marah
“kesiangan..
nanti saja di sekolah” balasku sambil beranjak pergi dan segera menaiki
skutermatic hijau tua kepunyaan mang Dede yang sudah siap setia mengantar
jemput kemanapun aku pergi.
“mang
geber yaa kesiangan nih!!” ucapku memaksa mang Dede sang sopir yang memang
telah bekerja pada ayah sebelum aku lahir untuk segera tancap gas menuju
sekolahku.
“siap
neng lah kalem jeng mamang mah” balas mang Dede dengan logat orang Garut percaya
diri.
Motor
matic tua itu berpacu degan kendaraan lain di jalanan kota Bandung, memang
jarak antara rumah dan sekolahku itu cukup jauh memerlukan waktu sekitar 30
menit. Saat aku sampai di gerbang sekolah, pak satpam sedang menutup gerbang
karena bel sudah berbunyi, dengan segeralah aku berlari turun dari motor
berharap diijinkan masuk oleh pak satpam.
“udah
bel atuh neng, lihat ini jam berapa” ucap pak satpam
“duuhhh
pak, maaf aku kesiangan boleh kan aku masuk” jawabku merengek meminta belas
kasihan
“sudah
lah sana masuk, lain kali jangan kesiangan lagi” balas pa satpam menasehati
“siaaaaapppp”
aku berkata sambil berlari menuju kelas.
Untunglah pada saat aku memasuki
ruangan kelas belum ada guru yang mengajar sehingga aku santai mengahampiri
bangku usang tempat kokoh yang bersedia diduduki olehku, dikeluarkanlah dari
tasku sebuah novel serial pertama dari Divergent yang mempunyai halaman lebih dari 300 halaman,
memang aku ini lebih memilih membaca novel daripada bergosip kesana-kemari
membicarakan hal yang menurutku tidak penting untuk kehidupanku. Hari itu aku
tidak banyak berbincang dengan teman-teman sekelasku karena sibuk dengan novel
yang ayah belikan kemarin, saat pelajaran berlangsung aku mengikuti dengan
serius karena mengingat sebentar lagi
akan menghadapi ujian nasional yang menentukan kemana aku harus melanjutkan
sekolah, tentu ada rasa ingin membanggakan kedua orangtuaku dengan nilai akhir
yang harus aku dapatkan sebaik mungkin, ayah pernah menjanjikan kepadaku akan
memberikan aku sebuah mobil saat aku berumur 17 tahun itupun jika aku berhasil
masuk ke sekolah menengah atas negeri terunggul di Bandung. Terdengar
melengking dengan jelas bel tanda pelajaran berakhir, aku segera membereskan
buku-buku kedalam tasku dan beranjak pulang.
“Nad,
aku tadi lihat hasil foto kamu di mading sekolah, dan itu menakjubkan” ucap
Rara sahabatku yang mau menemaniku walaupun memang terkadang selalu di-duakan
oleh novel-novel yang aku baca.
“biasa
aja Ra, itu Cuma foto yang nga sengaja aku dapet momen yang bagus” jawabku
sambil menyesuaikan langkah kakiku agar bersamaan bersama kaki Rara yang menuju
keluar sekolah.
“lain
kali aku saja yang kamu ajak buat jadi modelnya, biar aku ikut terkenal gitu” balas Rara memaksa.
“bosen
liat muka kamu” balasku sambil menaiki angkot yang memang sudah menunggu
penumpang
“eehh
ko gitu sih sama temen sendiri hahah” ucap Rara cemberut.
Angkot
yang aku naiki bersama Rara terus bergerak menyusuri jalanan kota kembang,
hingga sampailah di depan rumahku aku segera turun dan berpamit kepada Rara
yang memang rumahnya hanya berbeda beberapa blok dari rumahku. Rumahku itu
tidak terlalu besar hanya di huni oleh ayah, ibu, mang Dede, dan bi Lastri,
serta aku yang ditakdirkan menjadi anak tunggal, ayah asli orang Bandung dia
lahir dan dibesarkan di Bandung, sedangkan ibu, dia lahir di Padang, namun
sejak kecil ibu sudah tinggal di Bandung ikut nenek dan kakek mengadu nasib. Sekarang
ayah bekerja di sebuah perusahaan pesawat terbang membahas soal upahnya, ayah
tidak pernah berterusterang berapa penghasilannya tetapi aku merasa ayah selalu
mempunyai uang untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan keluarga, belum lagi ayah
selalu memanjakan aku dengan selalu menanyakan hal-hal yang aku inginkan.
Saat aku sampai di rumah aku segera
berbaring di sofa dengan masih menggunakan seragam sekolah aku terus
memindah-mindahkan saluran televisi, siang itu hanya ada aku mang Dede, dan bi
Lastri di rumah, ibu pergi arisan bersama teman-temannya. Tidak lama kemudian
kudengar suara mesin mobil yang memasuki garasi itu pasti Ibu dan benar saja
ibu datang seorang diri tetapi kenapa mata ibu begitu sebam? Ibu menanyakan
keberadaan ayah kepadaku
“Nad
ayah sudah pulang?” Tanya ibu yang wajahnya tidak mau menatapku.
“belum
bu” aku menjawab dengan rasa ingin tahu keadaan ibu bagaimana, tetapi aku
mencoba tidak menujukkan rasa itu karena sepertinya ibu tidak mau kalau aku
tahu. Bukan tidak peduli terhadap ibu, aku kembali menonton acara televisi
kesukaanku.
Ibu
segera pergi ke kamarnya dan menutup rapat pintunya, aku semakin penasaran
kenapa ibu saat itu. Tiba-tiba pintu rumah terbuka dan aku yang sedari tadi
asik menonton tv segera melihat siapa yang datang, ternyata itu ayah
“ayah
mobilnya kemana? Mogok? Ayah pulang naik apa?” Tanyaku penasaran
“ibumu
mana?” ayah tidak menjawabku malah menanyakan ibu
“di
kamarnya, tetapi….” Belum sempat aku meneruskan kata-kataku ayah segera
meninggalkan dan berjalan menuju kamar, sebenarnya ada apa sih? Hatiku terus
bertanya-tanya.
Tidak
lama kemudian ayah dan ibu keluar dari kamarnya dan duduk di samping kiri dan
kananku, tiba-tiba ibu memelukku dan menangis terisak-isak, aku yang tidak tahu
apa-apa tanpa di komando aku membalas pelukan ibu, sedangkan ayah hanya
tertunduk menyesal entah apa yang dia rasakan.
“apa
yang sebenarnya terjadi? Tolong jelaskan” tanyaku sambil menahan tangis
“ayah
takut kamu tidak bisa menerimanya” jawab ayah, ibu terus memelukku dan menangis
akupun semakin binggung
“apapun
yang terjadi Nadia akan menerima semuanya” jawabku meyakinkan
“ayah
besok dan seterusnya tidak bekerja lagi” ucap ayah yang semakin membuatku
binggung
“maksud
ayah bagaimana? Aku sama sekali tidak mengerti” balasku dengan nada yang agak
meninggi
“ayah
dituduh korupsi, tapi kamupun tahu ayah benar-benar tidak berani menggambil
sepeser-pun yang bukan hak ayah, ayah punya keluarga dan tentu saja ayah ingin
menafkahi dengan uang yang halal” ucap ayah mengagetkanku
“besok
seluruh harta yang ayah miliki akan disita oleh perusahaan, rumah ini beserta
isinya, tabungan ayah, mobil semuanya” lanjut ayah menjelaskan
“kita
akan tinggal dimana?” tanyaku tegang
“kita
akan tinggal di rumah peninggalan almarhum kakek dan nenekmu yang letaknya
tidak jauh dari sekolahmu, sekarang kamu segera kemasi baju-baju dan barang
yang kamu perlukan, tinggalkan yang tidak penting besok pagi kita segera pergi dari
rumah ini, begitu juga dengan mang Dede dan bi Lastri nanti ayah akan suruh
mereka pulang kampung” jawab ayah
panjang lebar
“iya…”
jawabku dan segera pergi ke kamar.
Sesampainya
di kamar aku tenggelamkan tubuh ini diatas kasur, tidak terasa dari mataku
terurai air, pikiranku tidak bisa aku kendalikan sedangkan hatiku merasa marah,
marah kenapa ini harus menimpa keluargaku mengapa ini harus terjadi kepadaku.
Beberapa saat kemudian aku ingat buku diary yang menemaniku sejak kecil, di
dalam buku itu aku torehkan kejadian-kejadian yang terjadi dalam hidupku mulai
dari kejadian yang menyenangkan bahkan menyedihkan, aku buka lembar demi lembar
hingga aku menemukan tulisan semua keinginanku semua cita-citaku. Saat
menemukan tulisan itu aku hanya bisa menangis, aku ambil koper dan aku bereskan
barang-barang yang aku butuhkan, aku sudah siap untuk meninggalkan semua ini,
tetapi aku belum siap untuk melanjutkan hidupku dari titik nol.
Keesokan harinya aku sudah siap
pergi dari rumah meninggalkan seluruh harta yang kami miliki, kulihat ayah
hanya menarik sebuah koper yang isinya kuyakin hanya baju saja begitupun dengan
ibu, tak banyak yang ia bawa hanya sebuah koper. Kami bertiga menaiki angkutan
kota yang sempit belum lagi koper yang kami bawa semakin menyempitkan ruang di
dalam mobil, kulihat raut muka ibu yang menggambarkan ketidak nyamanan tetapi
ibu harus mulai terbiasa dengan situasi seperti ini. Angkutan kota itu
berkendara seenaknya sehingga membuatku merasa pusing dan mual, belum lagi pada
setiap gang rumah kami harus rela bersabar menunggu calon penumpang lainnya.
Satu jam berlalu kita baru sampai di sebuah gang penduduk, ayah membayar ongkos
sebesar 15.000 rupiah untuk tiga orang, kami menelusuri gang yang lebarnya
hanya cukup untuk dua motor saja di sisi kanan dan kiri berjejer rumah-rumah penduduk
karena memang kawasan ini adalah kawasan padat penduduk. Sampailah kami di
rumah nenek dan kakek, rumah itu sudah cukup tua dengan arsitektur jaman
kolonial Belanda kulihat ada sebuah pohon mangga di depan rumah yang sudah dari
kecil aku melihatnya namun kali ini aku melihat pohon itu semakin besar
“ayo
masuk” ucap ayah membangunkan lamunanku
Aku
menuruti perkataan ayah dan segera
memasuki rumah. Ibu dan Ayah segera membersihkan seluruh sudut rumah itu,
karena tidak tega melihat mereka bekerja akupun segera membantu. Setelah
selesai membereskan rumah kami berkumpul di ruang tamu, kulihat raut muka ayah
yang menggambarkan kelelahan begitu juga dengan ibu, dalam hatiku aku menjerit,
aku tidak tega melihat mereka bekerja keras bersentuhan dengan sapu dan gagang
pengepel lantai. Aku segera pergi menuju kamar, kamar baru yang akan aku
tempati entah seberapa lama. Hingga senja datang, aku masih di kamar baruku,
membereskan barang-barang keperluanku karena besok aku harus sekolah kembali.
Keesokan harinya aku bangun lebih
cepat karena aku perlu menyesuaikan diri dengan rumah baru ini mungkin nanti
dan seterusnya aku akan merasakan nyaman. Pukul 6 pagi aku sudah siap di meja
makan sambil membaca novel, ibu sedang memasak nasi goreng di dapur, sedangkan
ayah berada di hadapanku memegang Koran dan pulpen, aku tidak ingin bertanya
pada ayah apa yang ia lakukan karena aku tahu ayah sedang mencari lowongan
pekerjaan, aku tidak mau berlama-lama melihat ayah meskipun aku sedang membaca
novel tapi hati ini sedih melihat ayah serius mencari pekerjaan baru.
“bu,
aku mau sarapannya di bekal saja”
Tidak
lama kemudian ibu datang dengan bungkusan nasi
“disini
tidak ada kotak nasi, jadi ibu bungkus saja nasinya” ucap ibu berkaca-kaca
“iya
ibu tidak apa-apa, besok juga aku ingin bekal nasi lagi ya” jawabku mencoba
menegarkan ibu aku segera pamit pergi kesekolah, rumah ini memang begitu dekat
dengan sekolahku yang hanya membutuhkan 15 menit berjalan kaki. Sesampainya di
sekolah seperti biasa aku tidak banyak berbincang dengan teman, aku hanya sibuk
dengan membaca novel.
Hari-hari terus berlalu ibu
menjadi seorang ibu rumah tangga yang sebenarnya dengan setumpuk pekerjaan
rumah, ayah sekarang bekerja di sebuah showroom motor tugasnya menyebarkan
brosur-brosur cicilan motor, setiap harinya ayah bekerja di pinggir jalan yang
kadang dicibir orang sedangkan aku sudah mulai terbiasa dengan keadaan ekonomi
keluargaku yang sekarang, setiap hari aku berjalan kaki menuju sekolah berbekal
nasi yang ibu beri aku bisa menghemat pengeluaranku. Hingga saatnya ujian
nasional tiba, aku sangat bersemangat sekali menjalaninya karena aku yakin
nilaiku akan membanggakan kedua orangtuaku. Teman-temanku terus menanyakan
perubahan yang aku alami namun bukan aku tidak mau berterus terang kepada
mereka, aku anggap ini masalah keluargaku masalah pribadiku untuk apa
diceritakan kepada orang lain. Hari kelulusanpun tiba, aku berdiam di rumah
menunggu pak pos datang menyampaikan suratku, tiba-tiba ibu berlari ke kamarku
membawa sepucuk surat tanpa mengetuk pintu ibu langsung saja menghampiriku yang
sedang tidur di kamar.
“Nadia,
ini suratnya sudah datang cepatlah bangun dan buka” ucap ibu, aku langsung
terperanjat dan membuka amplop putih itu dan hasilnya aku lulus dengan nilai
yang memuaskan, aku segera
berterimakasih kepada ibu atas semua dukungan dan kasih sayangnya kepadaku hingga
aku mendapatkan semua ini.
Malam hari ayah sudah pulang, aku
segera menghampiri ayah dan memberika surat kelulusanku, ayah membuka surat itu
dan membacanya lalu ayah memelukku dengan hangat
“sebaiknya
kita bicara dulu” ajak ayah dan akupun segera duduk disampingnya diikuti oleh
ibu yang duduk di sampingku.
“nilai
yang kamu dapatkan sanggat tinggi, kamu sebenarnya bisa masuk sekolah negeri
terfavorit di Bandung, namun kamu tahu kan bagaimana keadaan ekonomi kita,
sekarang upah ayah sangat kecil hanya cukup untuk kebutuhan kita sehari-hari,
maafkan ayah tetapi sekolah negeri itu biayanya sangat mahal mungkin upah ayah
akan habis seluruhnya untuk membayar spp bahkan kurang” ucap ayah sedih
“Nadia
akan bersedia disekolahkan dimana saja, sekolahnya itu tidak penting, yang
penting Nadia menjalaninya dengan baik” jawabku mencoba menegarkan ayah
“Besok
ayah carikan sekolah swasta yang murah, ayah hanya berpesan agar kamu serius
menjalaninya” lanjut ayah menasehati.
Aku
segera pergi ke kamar karena ini sudah terlalu malam, aku baringkan tubuhku
diatas kasur kapuk yang keras dan memikirkan semuanya, akankah cita-citaku
tercapai dengan pijakan yang kurang sesuai dengan dambaanku?. Keesokan harinya
ayah tidak bekerja, dia akan mengantarku untuk menjadi siswa baru di sebuah
sekolah menengah atas yang letaknya tidak jauh dari rumah tinggal kami, sengaja
ayah memilihkan sekolah ini selain murah juga bisa menghemat ongkos.
Di sekolah, aku banyak berkenalan
dengan teman-teman baru dengan berbagai macam kalangan namun sifatku tidak bisa
di ubah masih sama seperti dulu tidak terlalu ingin bergaul dengan teman. Tiga
tahun aku hanya ke sekolah untuk mencari ilmu, bukan teman. Tiga tahun pula
orangtuaku susah payah mencari penghasilan untuk membayar kebutuhan sekolahku, hingga
saat aku memasuki semester lima, saat aku menginjak bangku kelas 12 aku merasa
senang karena inilah tahun terakhir aku sekolah, jauh di dalam lubuk hati ini
aku sangat mengiginkan untuk meneruskan ke jenjang bangku kuliah untuk
menjemput segala impianku. Tetapi sore itu saat aku masih berada di sekolah pa
Sardi mencariku
“ada
yang bernama Naadia?” Tanya pa Sardi di depan pintu kelas
“saya
pak” jawabku
“kamu
sekarang bereskan bukumu dan bawa tasmu ke ruang piket!” ucap pa Sardi
menyuruhku, akupun segera membereskan seluruh buku lalu memasukannya kedalam
tasku dan segera melangkah ke ruang piket, di ruang piket aku terheran-heran
karena pa Sardi tanpa alasan yang jelas menyuruhku untuk segera pulang menemui
ibu aku turuti dan segera pulang. Saat menuju ke rumah perasaanku biasa saja
karena aku tidak mau berfikiran negatif, tetapi saat kakiku menginjak halaman
rumah mengapa rumah yang aku tempati begitu ramai dengan banyak orang di dalam
dan di halaman. Akupun segera masuk dan di dalam rumah sudah ada ibu yang
sedang menangis terisak-isak, dan ada tubuh yang terbujur kaku di tutupi oleh
kain batik lalu ibu melihatku dan segera memelukku
“ayahmu
Nadia, dia sudah tidak ada” ucap ibu, aku tidak bisa berkata-kata aku hanya
mampu menangis. Ayah adalah sosok yang begitu mewah untukku, ayah tidak bisa
tergantikan. Ternyata ayah kecelakaan saat dia bekerja ayah ditabrak oleh truk
yang mengangkut pasir karena jalanan sepi truk itu berhasil lolos. Keesokan
harinya ayah di kebumikan, aku masih tidak percaya akan semua ini, banyak
tersimpan di hati ini sosok ayah dan kenangan yang kita ciptakan hingga aku
lupa jika manusia hidup ditakdirkan juga untuk mati. Kini tinggal aku dan ibu,
ibu tinggal satu-satunya harta yang aku miliki.
Seminggu setelah ayah meninggal
adalah hari ulang tahunku, aku pura-pura lupa karena aku tidak ingin meniup
lilin tanpa ayah tetapi ibu masih sangat mengingat hari ulang tahunku saat aku
bangun pagi ibu memelukku dan mendo’akan aku. Kini demi menyambung hidup ibu
rela bekerja menjadi tukang cuci, jika hari libur tiba aku selalu membantu ibu mencuci,
menyetrika dan mengantarkan semua baju pelanggannya, aku hidup bukan hanya
bersama ibu tetapi aku hidup bersama keterbatasan ekonomi. Aku sering merasa
sedih melihat ibu bekerja, kami jadi sering berpuasa demi menyambung beras
hingga sampai selama mungkin, berbuka puasa dengan bubur nasi yang encer dan
segelas teh pun aku sudah bersukur. Keadaan itu membuatku terus berdo’a supaya
aku cepat lulus sekolah sehingga aku bisa bekerja dan menyenangkan ibu, biarkan
niat ingin melanjutkan kuliah aku tunda dulu.
Waktu menjawab do’aku, aku lulus
sekolah menengah atas dan tanpa berfikir panjang aku segera melamar pekerjaan
ke sebuah restoran walaupun sebagai pelayan namun aku akan tetap senang
menjalaninya. Ini aku lakukan demi ibu. Aku bekerja 7 jam setiap harinya
mengingat restoran ini buka 24 jam dan upahnya lumayan untuk membuat ibu tidak
lagi bekerja sebagai buruh cuci. Setahun kemudian aku masih menyimpan hasrat
ingin melanjutkan kuliah, tanpa berbicara kepada ibu aku mendaftarkan diri
kesebuah universitas swasta dan mengambil kelas karyawan, aku memilih jurusan
perhotelan dengan biaya yang cukup dengan tabunganku dan penghasilanku
perbulannya. Tanpa sepengetahuan ibu aku menjalani hari-hariku dengan menjadi
pelayan restoran dan mahasiswi kelas karyawan.
Karena waktu tidak bisa dihentikan
tiga tahun berlalu, di dalam tasku sudah ada sebuah surat undangan untuk
wisudaku akan aku hadiahkan ini untuk ibu. Akan aku buatkan kejutan untuk ibu
yang saat itu sedang berada di dapur aku berteriak-teriak di dalam kamarku
“ibu!!!
Ibuu!! Tolong aku” tipuku kepada ibu
“kamu
kenapa Nadia?” jawab ibu
“pokonya
tolong Nadia ibuuu!!” teriakku terus menipu ibu, tetapi aku tidak mendengar jawaban ibu lagi
aku kira ibu sedang menuju kamarku aku terus menunggu ibu di kamar namun kenapa
selama ini, lalu aku putuskan akan menghampiri ibu di dapur. Sesampainya di
dapur aku melihat ibu berada di lantai terbaring dengan banyak darah di
kepalanya akupun panik dan segera membawa ibu ke rumasakit, sudah cukup aku
kehilangan ayah apakah aku akan kehilangan ibu karena kebodohanku? Sepanjang
jalan menuju rumasakit aku menyesali perbuatanku yang tidak memikirkan hal yang
mungkin saja bisa terjadi. Ibu harus dirawat di rumasakit kepalanya terbentur
lantai dengan sangat kuat sehingga terjadi pendarahan di otaknya, belum sehari
ibu dirawat tetapi ibu pergi. Kini aku hidup sebatang kara aku sangat inggat
film masa kecil yang tidak pernah terlewat untuk menontonnya bersma ibu, kartun
lebah yang berjudul Haci yang kesana-kemari mencari ibunya, kini terjadi
padaku.
Aku lalui hidup dengan hati yang
penuh penyesalan, tetapi penyesalan itu menjadi pecut tak berwujud agar hidupku
sukses karena aku yakin orangtuaku sudah bahagia disana, lebih bahagia lagi
jika mereka melihat aku sukses dengan hidupku sendiri. Kini aku menulis cerita
ini bersama musim panas di Los Angeles sebuah kota di negera California,
Amerika Serikat ditemani buah hatiku yang baru berumur 3 tahun, aku menikahi
seorang laki-laki yang mungkin tuhan ciptakan untuk membayar segala kesusahanku
dimasa lalu. Hidupku kini terlalu bahagia untuk aku jelaskan, namun aku yakin
orangtuaku salut kepadaku hingga bisa mejadi manusia seperti sekarang ini.
Angin pujaan hujan, angin ingin seperti hujan yang bukan hanya bisa dirasakan
namun bisa disentuh, angin adalah
orangtuaku yang tidak ada nyatanya namun bisa aku rasakan, hujan adalah aku
karena orangtua mana yang tidak ingin ikut merasakan kesuksesan anaknya yang
dari lahir dididik diasuh dengan penuh kasih sayang dan penuh perjuangan. Angin
selalu menemani hujan, di dalam hati aku merasakan orangtuaku selalu bersamaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar