Senin, 02 Februari 2015

Cerpen "Angin Pujaan Hujan"



Angin Pujaan Hujan
Karya : Nurhayati XII IPS 3
            Aku lahir di dunia ini satu paket bersama impian. Tidak bisa aku hitung impian itu, bagaikan titik-titik air yang jatuh takala hujan menghampiri bumi. Hidupku itu bagaikan mendaki gunung paling tinggi di pulau Jawa, perlengkapan mendaki hidupku seperti jaket, sepatu apapun itu aku sebut do’a dan tekad. Sedangkan untuk bekalnya, aku hanya butuh semangat dan motivasi, tinggal bagaimana aku menuju puncak melewati jalan yang mempunyai  berbagai macam kesulitan dan memaksaku untuk harus tahu berbagai cara mengatasi dan melawatinya, hingga aku berhasil berdiri tegap dengan kakiku sendiri dipuncak impian yang aku inginkan. Menurut beberapa pendapat oranglain, aku bukan sekedar wanita berkacamata penggemar es kelapa pencinta fotografi dan pengkonsumsi novel akut. Aku adalah wanita tangguh wanita super ambisius yang akan tetap mengejar apapun keinginannya sampai mendapatkannya. Tentu semua itu tidak begitu saja ada dalam diriku, perlu waktu dan proses.
read more
            Dering alarm yang aku setting tepat berbunyi ketika waktu menunjukan pukul 5 pagi, dengan mata yang masih terpejam, tanganku terus sibuk mencari-cari smartphone berwarna ungu untuk menghentikan bunyi yang memang harus membangunkanku, setelah tanganku mendapatkan apa yang aku cari segeralah dengan sudah terbiasa jempolku menekan tombol silent, dan aku berniat untuk tidur hanya 15 menit lagi sekedar memanjakan mata ini. Rasanya baru saja aku kembali menengelamkan mata ini tetapi tiba-tiba aku terbangun karena sinar terang yang masuk kedalam kamarku melalui jendela. Oh tuhan ini jam 6 pagi dan aku harus sampai ke sekolah dengan selamat hanya dalam 30 menit lagi! Aku bergegas menuju kamar mandi, entah apakah yang aku lakukan untuk membersihkan tubuhku ini benar atau tidak, bersih atau tidak “ahhhh yang penting aku mandi” gumamku dalam hati. Setelah mandi yang singkat aku segera memakai seragam putih biru yang memang akan aku pakai selama 3 bulan lagi, aku ambil tas berwarna hijau toska berisi buku-buku sekolah membosankan, kulihat sekilas kedalam cermin apakah aku sudah rapih, tidak akan aku tinggalkan kacamata kesayanganku yang aku beli satu tahun lalu bersama ayah di optik saat berbelanja ke mall. Aku menuruni tangga rumah dengan setengah berlari
“ibu kenapa tidak membangunkanku!!” teriakku marah kepada sosok yang sedang ada di dapur untuk menyiapkan sarapan.
“sudah besar, harus mandiri masa bangun saja harus di bangunkan…” ucap Ayah santai bersama Koran yang dibacanya.
“aku kan jadi kesiangannnnn ih ayah!!” balasku sambil memakai sepatu merk terkenal yang dibelikan ayah minggu lalu.
“sudahlah aku pergi sekolah dulu.. Assalamualaikum” ucapku sambil menciumi kedua tangan orangtuaku.
“Waalaikumsalam sarapan dulu Nadia!” teriak ayah marah
“kesiangan.. nanti saja di sekolah” balasku sambil beranjak pergi dan segera menaiki skutermatic hijau tua kepunyaan mang Dede yang sudah siap setia mengantar jemput kemanapun aku pergi.
“mang geber yaa kesiangan nih!!” ucapku memaksa mang Dede sang sopir yang memang telah bekerja pada ayah sebelum aku lahir untuk segera tancap gas menuju sekolahku.
“siap neng lah kalem jeng mamang mah” balas mang Dede dengan logat orang Garut percaya diri.
Motor matic tua itu berpacu degan kendaraan lain di jalanan kota Bandung, memang jarak antara rumah dan sekolahku itu cukup jauh memerlukan waktu sekitar 30 menit. Saat aku sampai di gerbang sekolah, pak satpam sedang menutup gerbang karena bel sudah berbunyi, dengan segeralah aku berlari turun dari motor berharap diijinkan masuk oleh pak satpam.
“udah bel atuh neng, lihat ini jam berapa” ucap pak satpam
“duuhhh pak, maaf aku kesiangan boleh kan aku masuk” jawabku merengek meminta belas kasihan
“sudah lah sana masuk, lain kali jangan kesiangan lagi” balas pa satpam menasehati
“siaaaaapppp” aku berkata sambil berlari menuju kelas.
Untunglah pada saat aku memasuki ruangan kelas belum ada guru yang mengajar sehingga aku santai mengahampiri bangku usang tempat kokoh yang bersedia diduduki olehku, dikeluarkanlah dari tasku sebuah novel serial pertama dari Divergent  yang mempunyai halaman lebih dari 300 halaman, memang aku ini lebih memilih membaca novel daripada bergosip kesana-kemari membicarakan hal yang menurutku tidak penting untuk kehidupanku. Hari itu aku tidak banyak berbincang dengan teman-teman sekelasku karena sibuk dengan novel yang ayah belikan kemarin, saat pelajaran berlangsung aku mengikuti dengan serius karena mengingat sebentar  lagi akan menghadapi ujian nasional yang menentukan kemana aku harus melanjutkan sekolah, tentu ada rasa ingin membanggakan kedua orangtuaku dengan nilai akhir yang harus aku dapatkan sebaik mungkin, ayah pernah menjanjikan kepadaku akan memberikan aku sebuah mobil saat aku berumur 17 tahun itupun jika aku berhasil masuk ke sekolah menengah atas negeri terunggul di Bandung. Terdengar melengking dengan jelas bel tanda pelajaran berakhir, aku segera membereskan buku-buku kedalam tasku dan beranjak pulang.
“Nad, aku tadi lihat hasil foto kamu di mading sekolah, dan itu menakjubkan” ucap Rara sahabatku yang mau menemaniku walaupun memang terkadang selalu di-duakan oleh novel-novel yang aku baca.
“biasa aja Ra, itu Cuma foto yang nga sengaja aku dapet momen yang bagus” jawabku sambil menyesuaikan langkah kakiku agar bersamaan bersama kaki Rara yang menuju keluar sekolah.
“lain kali aku saja yang kamu ajak buat jadi modelnya, biar aku ikut terkenal  gitu” balas Rara memaksa.
“bosen liat muka kamu” balasku sambil menaiki angkot yang memang sudah menunggu penumpang
“eehh ko gitu sih sama temen sendiri hahah” ucap Rara cemberut.
Angkot yang aku naiki bersama Rara terus bergerak menyusuri jalanan kota kembang, hingga sampailah di depan rumahku aku segera turun dan berpamit kepada Rara yang memang rumahnya hanya berbeda beberapa blok dari rumahku. Rumahku itu tidak terlalu besar hanya di huni oleh ayah, ibu, mang Dede, dan bi Lastri, serta aku yang ditakdirkan menjadi anak tunggal, ayah asli orang Bandung dia lahir dan dibesarkan di Bandung, sedangkan ibu, dia lahir di Padang, namun sejak kecil ibu sudah tinggal di Bandung ikut nenek dan kakek mengadu nasib. Sekarang ayah bekerja di sebuah perusahaan pesawat terbang membahas soal upahnya, ayah tidak pernah berterusterang berapa penghasilannya tetapi aku merasa ayah selalu mempunyai uang untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan keluarga, belum lagi ayah selalu memanjakan aku dengan selalu menanyakan hal-hal yang aku inginkan.
            Saat aku sampai di rumah aku segera berbaring di sofa dengan masih menggunakan seragam sekolah aku terus memindah-mindahkan saluran televisi, siang itu hanya ada aku mang Dede, dan bi Lastri di rumah, ibu pergi arisan bersama teman-temannya. Tidak lama kemudian kudengar suara mesin mobil yang memasuki garasi itu pasti Ibu dan benar saja ibu datang seorang diri tetapi kenapa mata ibu begitu sebam? Ibu menanyakan keberadaan ayah kepadaku
“Nad ayah sudah pulang?” Tanya ibu yang wajahnya tidak mau menatapku.
“belum bu” aku menjawab dengan rasa ingin tahu keadaan ibu bagaimana, tetapi aku mencoba tidak menujukkan rasa itu karena sepertinya ibu tidak mau kalau aku tahu. Bukan tidak peduli terhadap ibu, aku kembali menonton acara televisi kesukaanku.
Ibu segera pergi ke kamarnya dan menutup rapat pintunya, aku semakin penasaran kenapa ibu saat itu. Tiba-tiba pintu rumah terbuka dan aku yang sedari tadi asik menonton tv segera melihat siapa yang datang, ternyata itu ayah
“ayah mobilnya kemana? Mogok? Ayah pulang naik apa?” Tanyaku penasaran
“ibumu mana?” ayah tidak menjawabku malah menanyakan ibu
“di kamarnya, tetapi….” Belum sempat aku meneruskan kata-kataku ayah segera meninggalkan dan berjalan menuju kamar, sebenarnya ada apa sih? Hatiku terus bertanya-tanya.
Tidak lama kemudian ayah dan ibu keluar dari kamarnya dan duduk di samping kiri dan kananku, tiba-tiba ibu memelukku dan menangis terisak-isak, aku yang tidak tahu apa-apa tanpa di komando aku membalas pelukan ibu, sedangkan ayah hanya tertunduk menyesal entah apa yang dia rasakan.
“apa yang sebenarnya terjadi? Tolong jelaskan” tanyaku sambil menahan tangis
“ayah takut kamu tidak bisa menerimanya” jawab ayah, ibu terus memelukku dan menangis akupun semakin binggung
“apapun yang terjadi Nadia akan menerima semuanya” jawabku meyakinkan
“ayah besok dan seterusnya tidak bekerja lagi” ucap ayah yang semakin membuatku binggung
“maksud ayah bagaimana? Aku sama sekali tidak mengerti” balasku dengan nada yang agak meninggi
“ayah dituduh korupsi, tapi kamupun tahu ayah benar-benar tidak berani menggambil sepeser-pun yang bukan hak ayah, ayah punya keluarga dan tentu saja ayah ingin menafkahi dengan uang yang halal” ucap ayah mengagetkanku
“besok seluruh harta yang ayah miliki akan disita oleh perusahaan, rumah ini beserta isinya, tabungan ayah, mobil semuanya” lanjut ayah menjelaskan
“kita akan tinggal dimana?” tanyaku tegang
“kita akan tinggal di rumah peninggalan almarhum kakek dan nenekmu yang letaknya tidak jauh dari sekolahmu, sekarang kamu segera kemasi baju-baju dan barang yang kamu perlukan, tinggalkan yang tidak penting besok pagi kita segera pergi dari rumah ini, begitu juga dengan mang Dede dan bi Lastri nanti ayah akan suruh mereka pulang kampung”  jawab ayah panjang lebar
“iya…” jawabku dan segera pergi ke kamar.
Sesampainya di kamar aku tenggelamkan tubuh ini diatas kasur, tidak terasa dari mataku terurai air, pikiranku tidak bisa aku kendalikan sedangkan hatiku merasa marah, marah kenapa ini harus menimpa keluargaku mengapa ini harus terjadi kepadaku. Beberapa saat kemudian aku ingat buku diary yang menemaniku sejak kecil, di dalam buku itu aku torehkan kejadian-kejadian yang terjadi dalam hidupku mulai dari kejadian yang menyenangkan bahkan menyedihkan, aku buka lembar demi lembar hingga aku menemukan tulisan semua keinginanku semua cita-citaku. Saat menemukan tulisan itu aku hanya bisa menangis, aku ambil koper dan aku bereskan barang-barang yang aku butuhkan, aku sudah siap untuk meninggalkan semua ini, tetapi aku belum siap untuk melanjutkan hidupku dari titik nol.
            Keesokan harinya aku sudah siap pergi dari rumah meninggalkan seluruh harta yang kami miliki, kulihat ayah hanya menarik sebuah koper yang isinya kuyakin hanya baju saja begitupun dengan ibu, tak banyak yang ia bawa hanya sebuah koper. Kami bertiga menaiki angkutan kota yang sempit belum lagi koper yang kami bawa semakin menyempitkan ruang di dalam mobil, kulihat raut muka ibu yang menggambarkan ketidak nyamanan tetapi ibu harus mulai terbiasa dengan situasi seperti ini. Angkutan kota itu berkendara seenaknya sehingga membuatku merasa pusing dan mual, belum lagi pada setiap gang rumah kami harus rela bersabar menunggu calon penumpang lainnya. Satu jam berlalu kita baru sampai di sebuah gang penduduk, ayah membayar ongkos sebesar 15.000 rupiah untuk tiga orang, kami menelusuri gang yang lebarnya hanya cukup untuk dua motor saja di sisi kanan dan kiri berjejer rumah-rumah penduduk karena memang kawasan ini adalah kawasan padat penduduk. Sampailah kami di rumah nenek dan kakek, rumah itu sudah cukup tua dengan arsitektur jaman kolonial Belanda kulihat ada sebuah pohon mangga di depan rumah yang sudah dari kecil aku melihatnya namun kali ini aku melihat pohon itu semakin besar
“ayo masuk” ucap ayah membangunkan lamunanku
Aku menuruti perkataan ayah  dan segera memasuki rumah. Ibu dan Ayah segera membersihkan seluruh sudut rumah itu, karena tidak tega melihat mereka bekerja akupun segera membantu. Setelah selesai membereskan rumah kami berkumpul di ruang tamu, kulihat raut muka ayah yang menggambarkan kelelahan begitu juga dengan ibu, dalam hatiku aku menjerit, aku tidak tega melihat mereka bekerja keras bersentuhan dengan sapu dan gagang pengepel lantai. Aku segera pergi menuju kamar, kamar baru yang akan aku tempati entah seberapa lama. Hingga senja datang, aku masih di kamar baruku, membereskan barang-barang keperluanku karena besok aku harus sekolah kembali.
            Keesokan harinya aku bangun lebih cepat karena aku perlu menyesuaikan diri dengan rumah baru ini mungkin nanti dan seterusnya aku akan merasakan nyaman. Pukul 6 pagi aku sudah siap di meja makan sambil membaca novel, ibu sedang memasak nasi goreng di dapur, sedangkan ayah berada di hadapanku memegang Koran dan pulpen, aku tidak ingin bertanya pada ayah apa yang ia lakukan karena aku tahu ayah sedang mencari lowongan pekerjaan, aku tidak mau berlama-lama melihat ayah meskipun aku sedang membaca novel tapi hati ini sedih melihat ayah serius mencari pekerjaan baru.
“bu, aku mau sarapannya di bekal saja”
Tidak lama kemudian ibu datang dengan bungkusan nasi
“disini tidak ada kotak nasi, jadi ibu bungkus saja nasinya” ucap ibu berkaca-kaca
“iya ibu tidak apa-apa, besok juga aku ingin bekal nasi lagi ya” jawabku mencoba menegarkan ibu aku segera pamit pergi kesekolah, rumah ini memang begitu dekat dengan sekolahku yang hanya membutuhkan 15 menit berjalan kaki. Sesampainya di sekolah seperti biasa aku tidak banyak berbincang dengan teman, aku hanya sibuk dengan membaca novel.
Hari-hari terus berlalu ibu menjadi seorang ibu rumah tangga yang sebenarnya dengan setumpuk pekerjaan rumah, ayah sekarang bekerja di sebuah showroom motor tugasnya menyebarkan brosur-brosur cicilan motor, setiap harinya ayah bekerja di pinggir jalan yang kadang dicibir orang sedangkan aku sudah mulai terbiasa dengan keadaan ekonomi keluargaku yang sekarang, setiap hari aku berjalan kaki menuju sekolah berbekal nasi yang ibu beri aku bisa menghemat pengeluaranku. Hingga saatnya ujian nasional tiba, aku sangat bersemangat sekali menjalaninya karena aku yakin nilaiku akan membanggakan kedua orangtuaku. Teman-temanku terus menanyakan perubahan yang aku alami namun bukan aku tidak mau berterus terang kepada mereka, aku anggap ini masalah keluargaku masalah pribadiku untuk apa diceritakan kepada orang lain. Hari kelulusanpun tiba, aku berdiam di rumah menunggu pak pos datang menyampaikan suratku, tiba-tiba ibu berlari ke kamarku membawa sepucuk surat tanpa mengetuk pintu ibu langsung saja menghampiriku yang sedang tidur di kamar.
“Nadia, ini suratnya sudah datang cepatlah bangun dan buka” ucap ibu, aku langsung terperanjat dan membuka amplop putih itu dan hasilnya aku lulus dengan nilai yang memuaskan,  aku segera berterimakasih kepada ibu atas semua dukungan dan kasih sayangnya kepadaku hingga aku mendapatkan semua ini.
            Malam hari ayah sudah pulang, aku segera menghampiri ayah dan memberika surat kelulusanku, ayah membuka surat itu dan membacanya lalu ayah memelukku dengan hangat
“sebaiknya kita bicara dulu” ajak ayah dan akupun segera duduk disampingnya diikuti oleh ibu yang duduk di sampingku.
“nilai yang kamu dapatkan sanggat tinggi, kamu sebenarnya bisa masuk sekolah negeri terfavorit di Bandung, namun kamu tahu kan bagaimana keadaan ekonomi kita, sekarang upah ayah sangat kecil hanya cukup untuk kebutuhan kita sehari-hari, maafkan ayah tetapi sekolah negeri itu biayanya sangat mahal mungkin upah ayah akan habis seluruhnya untuk membayar spp bahkan kurang” ucap ayah sedih
“Nadia akan bersedia disekolahkan dimana saja, sekolahnya itu tidak penting, yang penting Nadia menjalaninya dengan baik” jawabku mencoba menegarkan ayah
“Besok ayah carikan sekolah swasta yang murah, ayah hanya berpesan agar kamu serius menjalaninya” lanjut ayah menasehati.
Aku segera pergi ke kamar karena ini sudah terlalu malam, aku baringkan tubuhku diatas kasur kapuk yang keras dan memikirkan semuanya, akankah cita-citaku tercapai dengan pijakan yang kurang sesuai dengan dambaanku?. Keesokan harinya ayah tidak bekerja, dia akan mengantarku untuk menjadi siswa baru di sebuah sekolah menengah atas yang letaknya tidak jauh dari rumah tinggal kami, sengaja ayah memilihkan sekolah ini selain murah juga bisa menghemat ongkos.
            Di sekolah, aku banyak berkenalan dengan teman-teman baru dengan berbagai macam kalangan namun sifatku tidak bisa di ubah masih sama seperti dulu tidak terlalu ingin bergaul dengan teman. Tiga tahun aku hanya ke sekolah untuk mencari ilmu, bukan teman. Tiga tahun pula orangtuaku susah payah mencari penghasilan untuk membayar kebutuhan sekolahku, hingga saat aku memasuki semester lima, saat aku menginjak bangku kelas 12 aku merasa senang karena inilah tahun terakhir aku sekolah, jauh di dalam lubuk hati ini aku sangat mengiginkan untuk meneruskan ke jenjang bangku kuliah untuk menjemput segala impianku. Tetapi sore itu saat aku masih berada di sekolah pa Sardi mencariku
“ada yang bernama Naadia?” Tanya pa Sardi di depan pintu kelas
“saya pak” jawabku
“kamu sekarang bereskan bukumu dan bawa tasmu ke ruang piket!” ucap pa Sardi menyuruhku, akupun segera membereskan seluruh buku lalu memasukannya kedalam tasku dan segera melangkah ke ruang piket, di ruang piket aku terheran-heran karena pa Sardi tanpa alasan yang jelas menyuruhku untuk segera pulang menemui ibu aku turuti dan segera pulang. Saat menuju ke rumah perasaanku biasa saja karena aku tidak mau berfikiran negatif, tetapi saat kakiku menginjak halaman rumah mengapa rumah yang aku tempati begitu ramai dengan banyak orang di dalam dan di halaman. Akupun segera masuk dan di dalam rumah sudah ada ibu yang sedang menangis terisak-isak, dan ada tubuh yang terbujur kaku di tutupi oleh kain batik lalu ibu melihatku dan segera memelukku
“ayahmu Nadia, dia sudah tidak ada” ucap ibu, aku tidak bisa berkata-kata aku hanya mampu menangis. Ayah adalah sosok yang begitu mewah untukku, ayah tidak bisa tergantikan. Ternyata ayah kecelakaan saat dia bekerja ayah ditabrak oleh truk yang mengangkut pasir karena jalanan sepi truk itu berhasil lolos. Keesokan harinya ayah di kebumikan, aku masih tidak percaya akan semua ini, banyak tersimpan di hati ini sosok ayah dan kenangan yang kita ciptakan hingga aku lupa jika manusia hidup ditakdirkan juga untuk mati. Kini tinggal aku dan ibu, ibu tinggal satu-satunya harta yang aku miliki.
            Seminggu setelah ayah meninggal adalah hari ulang tahunku, aku pura-pura lupa karena aku tidak ingin meniup lilin tanpa ayah tetapi ibu masih sangat mengingat hari ulang tahunku saat aku bangun pagi ibu memelukku dan mendo’akan aku. Kini demi menyambung hidup ibu rela bekerja menjadi tukang cuci, jika hari libur tiba aku selalu membantu ibu mencuci, menyetrika dan mengantarkan semua baju pelanggannya, aku hidup bukan hanya bersama ibu tetapi aku hidup bersama keterbatasan ekonomi. Aku sering merasa sedih melihat ibu bekerja, kami jadi sering berpuasa demi menyambung beras hingga sampai selama mungkin, berbuka puasa dengan bubur nasi yang encer dan segelas teh pun aku sudah bersukur. Keadaan itu membuatku terus berdo’a supaya aku cepat lulus sekolah sehingga aku bisa bekerja dan menyenangkan ibu, biarkan niat ingin melanjutkan kuliah aku tunda dulu.
            Waktu menjawab do’aku, aku lulus sekolah menengah atas dan tanpa berfikir panjang aku segera melamar pekerjaan ke sebuah restoran walaupun sebagai pelayan namun aku akan tetap senang menjalaninya. Ini aku lakukan demi ibu. Aku bekerja 7 jam setiap harinya mengingat restoran ini buka 24 jam dan upahnya lumayan untuk membuat ibu tidak lagi bekerja sebagai buruh cuci. Setahun kemudian aku masih menyimpan hasrat ingin melanjutkan kuliah, tanpa berbicara kepada ibu aku mendaftarkan diri kesebuah universitas swasta dan mengambil kelas karyawan, aku memilih jurusan perhotelan dengan biaya yang cukup dengan tabunganku dan penghasilanku perbulannya. Tanpa sepengetahuan ibu aku menjalani hari-hariku dengan menjadi pelayan restoran dan mahasiswi kelas karyawan.
            Karena waktu tidak bisa dihentikan tiga tahun berlalu, di dalam tasku sudah ada sebuah surat undangan untuk wisudaku akan aku hadiahkan ini untuk ibu. Akan aku buatkan kejutan untuk ibu yang saat itu sedang berada di dapur aku berteriak-teriak di dalam kamarku
“ibu!!! Ibuu!! Tolong aku” tipuku kepada ibu
“kamu kenapa Nadia?” jawab ibu
“pokonya tolong Nadia ibuuu!!” teriakku terus menipu ibu,  tetapi aku tidak mendengar jawaban ibu lagi aku kira ibu sedang menuju kamarku aku terus menunggu ibu di kamar namun kenapa selama ini, lalu aku putuskan akan menghampiri ibu di dapur. Sesampainya di dapur aku melihat ibu berada di lantai terbaring dengan banyak darah di kepalanya akupun panik dan segera membawa ibu ke rumasakit, sudah cukup aku kehilangan ayah apakah aku akan kehilangan ibu karena kebodohanku? Sepanjang jalan menuju rumasakit aku menyesali perbuatanku yang tidak memikirkan hal yang mungkin saja bisa terjadi. Ibu harus dirawat di rumasakit kepalanya terbentur lantai dengan sangat kuat sehingga terjadi pendarahan di otaknya, belum sehari ibu dirawat tetapi ibu pergi. Kini aku hidup sebatang kara aku sangat inggat film masa kecil yang tidak pernah terlewat untuk menontonnya bersma ibu, kartun lebah yang berjudul Haci yang kesana-kemari mencari ibunya, kini terjadi padaku.
            Aku lalui hidup dengan hati yang penuh penyesalan, tetapi penyesalan itu menjadi pecut tak berwujud agar hidupku sukses karena aku yakin orangtuaku sudah bahagia disana, lebih bahagia lagi jika mereka melihat aku sukses dengan hidupku sendiri. Kini aku menulis cerita ini bersama musim panas di Los Angeles sebuah kota di negera California, Amerika Serikat ditemani buah hatiku yang baru berumur 3 tahun, aku menikahi seorang laki-laki yang mungkin tuhan ciptakan untuk membayar segala kesusahanku dimasa lalu. Hidupku kini terlalu bahagia untuk aku jelaskan, namun aku yakin orangtuaku salut kepadaku hingga bisa mejadi manusia seperti sekarang ini. Angin pujaan hujan, angin ingin seperti hujan yang bukan hanya bisa dirasakan namun bisa disentuh, angin  adalah orangtuaku yang tidak ada nyatanya namun bisa aku rasakan, hujan adalah aku karena orangtua mana yang tidak ingin ikut merasakan kesuksesan anaknya yang dari lahir dididik diasuh dengan penuh kasih sayang dan penuh perjuangan. Angin selalu menemani hujan, di dalam hati aku merasakan orangtuaku selalu bersamaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar